Kebijakan Moneter Belum Terasa di Lapangan
Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati. Foto : Ist/Man
Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR RI dengan Gubernur Bank Indonesia (BI) tentang kondisi stabilitas sistem keuangan perbankan nasional di tengah wabah Covid-19 menyampaikan, masih banyak masyarakat yang kebingungan untuk mengakses program, kebijakan dan fasilitas yang telah direncanakan dan disampaikan pemerintah dalam penanganan situasi wabah virus Covid-19.
“Apa yang terjadi di lapangan nyatanya tidak semulus apa yang kita bicarakan di forum ini. Saya banyak mendapatkan keluhan dari para pengemudi ojek online, ibu rumah tangga dan masyarakat bawah mengenai kebingungan dan kesulitan mereka mengakses kebijakan pemerintah. Jangan sampai terjadi krisis sosial dan kriminalitas meningkat karena bantuan yang mereka harapkan tidak turun juga,” kata Anis, Rabu (9/4/2020).
Terkait dengan salah satu tugas yang diberikan kepada BI, ia menegaskan bahwa pada pada prinsipnya pihaknya mendukung langkah-langkah pemerintah dalam mitigasi sebaran pandemi virus Covid-19. Tetapi menurutnya, masih ada hal-hal yang memerlukan pikirkan bersama. Hal tersebut, lanjut Anis, termasuk kewenangan yang diberikan kepada BI untuk melakukan injeksi likuiditas ke perbankan dalam jumlah yang cukup besar, yakni mencapai hampir Rp 300 triliun sejak awal tahun 2020.
Dengan kewenangan tersebut, menurut politisi PKS ini, BI dapat membiayai defisit fiskal melalui pembelian SUN/SBSN dari pasar primer. Kemudian, BI juga dapat menyediakan likuiditas ke perbankan melalui mekanisme term-repurchase agreement (repo) atau surat hutang negara, obligasi negara dan sektor perbankan lainnya.
Munculnya aturan yang tertuang pada Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang baru-baru ini diteken Presiden Joko Widodo, Anis menilai hal tersebut akan memaksa BI menyediakan likuiditas besar-besaran untuk penyelamatan koorporasi saat krisis. “Walaupun Gubernur BI mengatakan ini bukan bailout, namun langkah ini sangat mengkhawatirkan,” tegasnya.
Sebagaimana diketahui, karena keterbatasan dana pemerintah dalam menangani wabah Covid-19 di Indonesia, pemerintah akhirnya menerbitkan obligasi senilai Rp 450 triliun untuk memberikan stimulus ekonomi. Bank Indonesia kemudian ditunjuk menjadi pihak yang akan membeli obligasi tersebut. Hal ini kembali membuka trauma krisis moneter 1997-1998.
Anis juga mengingatkan kepada Gubernur BI Perry Warjiyo, jika terjadi kelebihan likuiditas dan tidak diimbangi dengan peningkatan daya beli masyarakat, maka hal ini akan menimbulkan lonjakan inflasi yang tidak terkendali. “Kita tahu dalam situasi seperti ini, stimulus fiskal yang telah digulirkan tidak bisa mendorong daya beli masyarakat,” imbuhnya.
Menutup paparannya, Anis menegaskan kembali bahwa berhasil tidaknya intervensi yang dilakukan Bank Indonesia, bukanlah menjadi satu-satunya jalan penyelamatan ekonomi. “Efektifitas dan efisiensi ekonomi sangat tergantung dengan kebijakan dari sektor ekonomi yang lain, internal dan eksternal. Jadi kebijakan moneter bukan segala-galanya,” pungkas legislator dapil DKI Jakarta I itu. (alw/sf)